Puasa sebagai Vaksin, ditulis oleh Dr dr Muhammad Anas SpOG, Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya).
PWMU.CO – Pandemi Covid-19 telah berlangsung selama satu setengah tahun sejak Desember 2019. Hampir 150 juta kasus di seluruh dunia.
Delapan Januari 2021 merupakan puncak kasus baru, 850 ribu kasus dalam satu hari. Selanjutnya menurun 50 persen, kemudian naik lagi pada 13 Pebruari 2021 dan terjadi gelombang kedua kasus harian dengan lonjakan kasus yang melebihi kasus sebelumnya ke angka 860 ribu kasus baru lagi.
Tambahan kasus baru tersebut, terbanyak sumbangan dari negara India, sedangkan Amerika Serikat dan Brazil trend peningkatannya juga masih tinggi.
Di Indonesia penurunan kasus baru sudah sangat jauh sekitar 67 persen dari puncaknya 30 Januari 2021 yang lalu. Program vaksinasi Covid-19 yang dimulai dua pekan sebelum terjadinya puncak kasus harian, kemudian menurun hingga sekarang.
Vaksinasi ini diharapkan meningkatkan daya tahan kekebalan tubuh terhadap Covid-19. Vaksin yang tersedia di Indonesia sebanyak 7 juta dosis sampai dengan April 2021.
Gelombang kedua kasus Covid-19 di dunia yang terjadi saat ini berdampak pada keberlangsungan program vaksinasi di Indonesia. Vaksin yang digunakan di Indonesia ada dua macam, Sinovac berasal dari China dan Astra Zeneca produk Inggris-Swedia yang diimpor dari India.
Dosis vaksin total yang direncanakan sejumlah 12 juta. Lonjakan kasus baru Covid-19 di India berakibat embargo penyediaan vaksin Astra Zeneca di Indonesia.
Vaksinasi di Tengah Gelombang Kedua
Proyek vaksin Covid-19 merah putih, produk Indonesia, belum selesai proses uji klinis dan diperkirakan siap didistribusikan di pertengahan tahun 2022. Kondisi tersebut ditindaklanjuti dengan peninjauan ulang prioritas target vaksinasi pada kelompok risiko tinggi agar efektivitas perlindungan dan pencegahan kenaikan kasus baru bisa dikendalikan.
Karena belum ada obat spesifik yang ditemukan, maka upaya memperkuat kekebalan tubuh bersamaan dengan mempertahankan cara hidup sehat adalah cara terbaik untuk bertahan dari penyakit ini.
Sebagai praktik sehat, pembatasan kalori (diet) dalam bentuk puasa telah dilaporkan bermanfaat di antaranya, pematangan (priming) terhadap respon imun. Pembatasan diet juga dapat mengaktifkan autofagi (menghancurkan bagian sel yang rusak atau mencerna kembali agar terjadi peremajaan sel), merupakan sistem pengawasan sel yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Sehingga puasa bisa menjadi bagian strategi potensial di tengah wabah untuk melawan infeksi Covid-19.
Senyampang mempersiapkan vaksin Covid-19 produk anak bangsa, bulan Ramadhan merupakan momen kewajiban beribadah puasa sebagai ayat qauliah. Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Puasa juga sebagai ayat kauniyah. Seperti yang dilakukan dan disampaikan oleh para peneliti terhadap adanya keterkaitan yang erat antara aktivitas berpuasa dengan kekebalan tubuh terhadap Covid-19.
Puasa dan Kekebalan Tubuh
Puasa Ramadhan dan puasa lain, dalam agama Islam merupakan aktivitas yang diawali dengan makan sahur sebelum waktu Subuh dan berniat kemudian diakhiri dengan berbuka puasa di waktu Maghrib. Kurun waktu berpuasa selama kurang lebih 14 jam, yang diistilahkan dengan puasa intermiten.
Perubahan pola makan di bulan Ramadhan berpengaruh pada pola sirkardian mikrobita yang ada di dalam tubuh, khususnya di saluran pencernaan. Aksis diet-microbiota-kekebalan tubuh akan berubah timing-nya dari siang hari menjadi malam hari yang dikendalikan jam tubuh (master clock) yang berlokasi di otak. Seperti yang disarikan oleh Danping Zheng, Karina Ratiner, dan Eran Elinav (2020) peneliti Israel, China, dan Jerman.
Dikatakan bahwa perubahan jam tubuh akan berpengaruh pada jam lokal (local clock) yang ada di seluruh sel tubuh termasuk pengaturan fungsi fisiologi sel imun (kekebalan).
Perubahan waktu makan menginduksi autofagi yang menurunkan partikel virus dengan meningkatkan pensinyalan insulin atau mengaktifkan jalur pensinyalan AMPactivated protein kinase (AMPK) di hati.
Autofagi memainkan peran penting dalam mengatur respon imun bawaan (alami) maupun imun adaptif (antibodi G di darah, antibodi A di lendir, sel T, dan sel B). Serta produksi mediator inflamasi (interleukin, sitokin, kemokin) seperti yang disampaikan oleh pemenang nobel Yoshinori Ohsumi dari Jepang.
Dominasi bakteri yang ada di dalam usus berubah dengan berpuasa. Bakteriodes anaerob lebih mendominasi dan menstimulasi autofagi dan pergerakan sel imun ke sumsum tulang.
Sedangkan makrofag dan monosit tetap berjaga di tempat. Saat berbuka puasa, dominasi bakteri berubah menjadi proteobakteria yang lebih patogen dan sel imun akan terdistribusi ulang, dari sumsum tulang, beredar kembali ke sirkulasi.
Md. Abdul Hannan, Md. Ataur Rahman, dkk (2020) dari Bangladesh dan Republik Korea menyarikan hasil penelitian terkait puasa. Sel epitel paru yang terinfeksi Covid-19 terjadi kerusakan yang menampilkan pola molekul tertentu yang dikenali oleh sel epitel paru terdekat dan makrofag, yang memicu pelepasan sitokin dan kemokin pro-inflamasi di daerah sekitar infeksi. Mediator ini menarik sel inflamasi (makrofag, monosit, dan sel T) ke tempat infeksi, dan meningkatkan peradangan lebih lanjut.
Dalam respon imun disfungsional, terjadi infiltrasi besar-besaran yang mengarah ke kondisi imunopatologis, dikenal sebagai ‘badai sitokin’ yang menyebabkan kegagalan multi-organ.
Sebaliknya, dalam respon imun protektif, sel penyaji antigen (makrofag dan sel dendritik) mengenalkan antigen virus ke sel T yang merangsang baik imunitas yang dimediasi sel maupun humoral (cairan). Sel Th1 CD4+ mengaktifkan sel TCD8+ yang membunuh sel yang terinfeksi virus.
Sedangkan sel Th2 CD4+, mengubah sel B menjadi sel plasma B yang menghasilkan antibodi spesifik Covid-19 yang menetralkan virus. Atau keduanya sel TCD8+ dan TCD4+ tetap sebagai sel T memori, yang bisa bertindak sebagai sel TCD8+ dan TCD4+ bilamana dibutuhkan.
Puasa dan Pandemi Covid-19
Puasa dapat digunakan sebagai media pertahanan dan perlawanan terhadap infeksi Covid-19. Sistem pertahanan tubuh diperkuat sembari berpuasa dengan mengaktifkan berbagai proses fisiologis, termasuk respon imun dan autofagi.
Dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh, perubahan jenis virus (mutasi) Covid-19 akan bisa dikenali dan diantisipasi proteksinya. Peningkatan imunitas yang dihasilkan dari berpuasa merupakan salah satu upaya kuratif dan juga preventif terhadap serangan Covid-19.
Puasa bisa dikategorikan sebagai upaya vaksinasi mandiri.
Penularan Covid-19 sebagaimana yang sudah kita ketahui, ditularkan melalui udara, maka upaya pencegahan dengan menerapkan protokol kesehatan 5M tetap harus dilakukan. Yakni menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, tidak berkerumun, dan tidak keluar rumah bila tidak sangat penting.
Sehingga dengan berpuasa baik puasa wajib Ramadhan maupun sunnah setelahnya serta disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan akan menjaga kita. Yang belum terpapar agar tidak terpapar, bila terpapar semoga tetap terlindungi dan tidak jatuh dalam kondisi sakit yang berat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post