1. Asap Las yang Masih Menempel

Di ujung hari yang panjang, Arif menepikan motor tuanya di bawah lampu kuning warung teh. Kemeja kerjanya masih bau asap, ujung sarung tangannya menghitam, dan punggungnya berat bagai memikul gerbang besi yang tadi ia kunci terakhir di proyek. Ia tukang las panggilan, 34 tahun, yang terbiasa pulang malam dengan tangan bergetar halus karena seharian menahan panas, percikan, dan waktu yang seolah menempel di kulit. Malam itu, yang temaram hanya jalanan dan matanya yang lelah.

Ia meneguk teh manis, merasakan gula mencairkan sisa getir dari negosiasi harga siang tadi dan baut yang tak mau kompromi. Di meja warung, ia menghitung sisa hari: besok dini hari menjemur sarung tangan, pagi ganti kawat las, siang mengejar pemasangan pagar di perumahan. Pikirannya sempat menyentuh satu kekhawatiran kecil yang sering mengetuk belakangan ini: tagihan listrik bengkel yang jatuh tempo lebih cepat dari yang ia kira.

Arif berandai ia punya pulang yang sunyi tanpa pikiran soal target. Tapi ia juga tahu: dari bunyi mesin gerinda itulah dapur mengepul. Ia tersenyum kecil, mengingat pesan ibunya dulu, bahwa rezeki kerap datang di sela-sela lenguh kelelahan. Ia tak pernah menunggu kejutan, hanya terus bekerja rapi, menutup setiap engsel dengan presisi, dan berharap besok lebih terang.

2. Notifikasi di Tengah Suara Malam

Ketika hendak meraih helm, ponselnya bergetar. Sekali, dua kali. Arif melirik, mengira hanya balasan kawan soal kawat las yang ia titip beli. Ternyata, notifikasi transfer masuk dari Bu Lilis, pemilik kios sembako tempat Arif seminggu lalu memperkuat rak besi. Jumlahnya membuat napas Arif tertahan sepersekian detik: Rp2.500.000, lunas, disertai catatan singkat, terima kasih karena raknya kokoh dan tidak melendut meski penuh minyak dan beras.

Di layar, ada juga pesan lain dari grup WA RT: rolling door toko di ujung gang macet, pemilik panik karena besok subuh mereka harus angkut barang. Ketua RT menulis, adakah yang bisa bantu malam ini. Arif mengusap keringat yang sudah dingin di pelipis. Ia sempat menimbang untuk menunda besok pagi, mengingat bahu kanan masih pegal. Tapi jaraknya dekat, alat ada di rumah, dan ia paham rasanya panik di ambang pintu yang tak bisa turun.

3. Order Dadakan yang Manis

Arif mengirim balasan singkat: bisa datang dalam 20 menit. Ia menambahkan bensin Rp20.000 di SPBU kecil dekat tikungan, dan membeli paket data Rp5.000 karena tethering anaknya siang tadi menyedot kuota. Modal malam ini sederhana, tapi kepalanya sudah menyusun langkah: cek rel, luruskan as, kaburkan karat pada sambungan, dan siapkan pelumas secukupnya untuk memastikan daun pintu turun mulus.

Toko itu sepi ketika ia tiba, hanya cahaya lampu neon pucat dan bayangan pemilik yang cemas. Dengan gerak otomatis yang lahir dari kebiasaan, Arif menyalakan lampu portable kecil, menandai titik-titik yang aus, lalu memperkuat dudukan dengan beberapa titik las pendek. Percikan oranye memantul di lantai yang licin, sementara jam di dinding bergerak, tanpa tergesa, memasuki jam 22:43 WIB. Tak sampai 40 menit, rolling door itu kembali berfungsi, turun naik dengan suara yang rapi, bukan gesekan serak yang mengundang jengkel.

Pemilik toko menarik napas lega, menepuk bahu Arif dengan tulus. Ia menyodorkan amplop tipis dan, beberapa saat kemudian, notifikasi e-wallet berbunyi: pembayaran jasa Rp400.000, ditambah tip Rp150.000 karena datang malam-malam, plus cashback promo Rp30.000 yang tiba-tiba menyelinap sebagai bonus kecil yang membuat Arif tergelak. Di perjalanan pulang, angin terasa lebih ringan. Ia menepi sebentar di ujung gang, memasukkan semua perasaan itu ke dalam satu kalimat yang sederhana: ternyata, lelah juga bisa pulang dengan senyum dan rezeki yang tidak disangka.