Irfana, Laily
(2018)
Neuropati Optik Toksik Akibat Etambutol.
Proceeding ANNUAL MEETING APKKM Ke 6 Tahun 2018
.
UMSurabaya Publishing, Surabaya, pp. 71-76.
ISBN 978-602-5786-02-0
Abstract
Latar Belakang. Neuropati Optik Toksik (NOT) adalah kelainan pada fungsi penglihatan akibat kerusakan saraf optik yang disebabkan oleh zat beracun salah satunya adalah etambutol. Kejadian NOT terkait etambutol ini sangat bervariasi dari beberapa studi berkisar antara 0,5 - 35% penderita. Neuropati optik toksik dapat memberikan gejala berupa penurunan penglihatan yang berlangsung progresif, semakin memberat hingga dapat terjadi kebutaan. Meskipun hilangnya penglihatan ini bersifat reversibel saat etambutol diturunkan dosisnya atau dihentikan, beberapa pasien mengalami gangguan penglihatan permanen bahkan dengan dosis obat yang standar (Yoon Y.H, et al, 2000; Chung H, et al, 2009). Beberapa kasus progresifitas tetap berjalan meskipun obat telah dihentikan. Seringkali dijumpai perbaikan yang tidak sempurna. Bahkan ada pula yang mengalami kebutaan permanen (Kwok A, 2006)
Tujuan. Melaporkan kasus Neuropati Optik Toksik akibat terapi Etambutol pada penderita TB
Kasus. Seorang wanita usia 28 tahun, dengan keluhan pandangan kabur sejak satu minggu yang lalu dan dirasakan semakin memberat. Tidak didapatkan keluhan mata merah, nerocoh, maupun nyeri pada mata. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala terasa berat pada seluruh kepala disertai mual. Keluhan lain seperti kejang, penurunan kesadaran, kelemahan separo tubuh, kesemutan, merot, maupun pelo tidak didapatkan. Tidak ada riwayat diabetes maupun hipertensi. Pasien terdiagnosis TB paru satu bulan yang lalu, kemudian mulai menjalani pengobatan TB regimen HRZE dengan dosis standar sejak dua minggu ini. Pemeriksaan Fisik dan neurologis hanya didapatkan penurunan visus VOD 6/20, VOS 6/40, scotoma central, funduskopi macular reflex OS menurun, pemeriksaan lain dalam batas normal.
Pembahasan. Pada pasien ini, keluhan pandangan kabur mulai dirasakan setelah satu minggu mengkonsumsi etambutol, durasi ini cukup cepat mengingat pada literatur disebutkan onset munculnya gejala mulai dua bulan hingga enam bulanan. Dosis etambutol yang dikonsumsi oleh pasien ini adalah dosis standar, yaitu 15 mg/kgBB. Pada pemeriksaan fisik& neurologis semua pemeriksaan normal kecuali status oftalmologis. Didapatkan VOD 6/20 VOS 6/20, scotoma central, funduskopi macular reflex menurun. Pemeriksaan laboratorium juga telah dilengkapi dan tidak didapatkan abnormalitas. Pada awalnya pasien juga mengeluh nyeri kepala disertai muntah. Sehingga neurologis juga memikirkan diferential diagnosis suatu proses intrakranial. Namun hal ini telah disingkirkan dengan hasil CT Scan kepala yang menunjukkan gambaran normal. Selama perawatan terapi yang diberikan adalah berupa anti inflamasi, neurotropik, obat simtomatis untuk keluhan nyeri kepala mual muntahnya, dan melanjutkan terapi TBnya tanpa etambutol. Evaluasi visus dilakukan setiap hari saat opname, dilanjutkan tiap minggu saat rawat jalan. Perbaikan mulai dirasakan oleh pasien setidaknya tiga hari setelah dilakukan penghentian regimen etambutol. Perubahan yang signifikan tampak setelah dua minggu penghentian. Kemudian tiga minggu setelah keluhan, di klinik rawat jalan pasien mengatakan bahwa penglihatannya sudah kembali normal, demikian pula hasil pemeriksaannya, VODS 6/6, scotoma central-, funduskopi dbn.
Kesimpulan. Neuropati optic akibat etambutol dapat reversibel. Penghentian obat harus segera dilakukan bila didapatkan keluhan terkait penglihatan pada pasien, yaitu berupa penurunan visus, gangguan lapang pandang, maupun abnormalitas funduskopi. Dari evaluasi visus selama perawatan, pasien mengalami perbaikan visus sempurna dalam waktu tiga minggu setelah obat dihentikan.
Kata kunci: Neuropati optik toksik, etambutol
Actions (login required)
|
View Item |